Langsung ke konten utama

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT SUNDA

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT SUNDA
MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga di Bawah Bimbingan Dosen Bpk. Irzan , S.H., M.H.


Oleh :

AYU SARTIKA DEWI (143112330040104)


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL ,PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN



KATA PENGANTAR
    
            Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq serta inayahnya.  Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang merupakan menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan Hukum Pidana.  Adapun tema yang kami angkat adalah berkaitan dengan “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Sunda”, penulis menyadari sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam isinya maupun dalam penyajianya, berkat dorongan dan bimbingan dari semua pihak maka penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga karya sederhana ini layak untuk dijadikan sumber rujukan dalam mengkaji Ilmu Hukum Dan memberikan kontribusi praktis maupun akademik bagi internal, utamanya bagi Fakultas Universitas Nasional Dan tak dipungkiri bagi semua golongan. Semua kebenaran dalam makalah adalah semata dari Allah SWT dan miliknya, sedangkan segala kesalahan kekurangan semata dari keterbatasan kami.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Penyusun









DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................       1
KATA PENGANTAR...........................................................................................................                2
DAFTAR ISI........................................................................................................................       3
BAB I        PENDAHULUAN..............................................................................................      4
A.Latar belakang............................................................................................................................       4
B.Rumusan Masalah....................................................................................................................       6
C. Tujuan.............................................................................................................................................       6
BAB II       PEMBAHASAN................................................................................................      7
                   2.1 Pengertian Perkawinan ..........................................................................       7
                   2.2 Syarat Sah Perkawinan  ..........................................................................       14
                   2.3 Tata Cara Perkawinan Menurut Hk.Adat Sunda ..................................       16
      BAB III      PENUTUP..................................................................................................................................       27
                   Kesimpulan.......................................................................................................................................       27
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................................               29








BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbicara masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia. Sekalipun aturan-aturannya bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi kepatuhan warga masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalamnya.
Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat.
Secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Oleh karena itulah manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Hidup bersama tersebut dalam kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil yang disebut dengan keluarga. Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan yang disebut dengan perkawinan. Hidup bersama yang terikat dalam perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Perkawinan atau pernikahan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan manusia. Perkawinan, selain menyatukan dua insan berbeda  yang saling mencintai, lebih pentingnya menyatukan dua keluarga yang berbeda. Karena perkawina tidaklah hanya berkaitan dengan kedua belah fihak memepelai saja tetapi juga kedua orang-tua kedua belah fiihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan sudah dianggap sah salah satu syaratnya adalah jika perkawinan itu telah sah dimata agama dan kepercayaan masing-masing. Yang pada umumnya berdasarkan ketentuan hukum adat masing-masing.Meskipun pada ujung undang-undang tersebut ditambahkan dengan mencatatkan perkawinan di Lembaga Urusan Perkainan. Maka jika dilihat dari undang-undang tersebut terdapat suatu lahan dimana negara tidak mengikat peraturan pernikahan secara khusus, dalam hal ini memeberikan ruang untuk orang atau kelompok yang memiliki peraturan sendiri. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974.
Melihat beraneka ragam suku dan budaya Indonesia, serta penyebarannya yang luas dari sabang sampai merauke tentu saja hal ini mengakibatkan beraneka ragam adat kebiasaan yang berbeda-beda. Dan tidak tentu saja salah satunya adalah dalam hal perkawinan.














1.2. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian perkawinan ?
  2. Bagaimana Syarat sah perkawinan ?
  3. Bagaimana tata cara perkawinan menurut hukum adat Sunda ?
1.3. Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan.
  2. Untuk mengetahui Syarat Syarat sahnya Perkawinan.
  3. Untuk mengetahui perkawinan menurut hukum adat Sunda.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perkawinan
                 Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dengan segala akibatnya, percerian dan harta perkawinan. Hukum perkawinan adat adalah bagian dari hukum tidak tertulis yang tumbuh & berkembang dalam masyarakat  yang mengatur tentang  perkawinan. Dalam Hukum Adat perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan maksud untuk melanjutkan generasi.Berbeda dengan Hukum Positif di Indonesia yang mengatur secara tegas masalah perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa
Perkawinan memiliki arti yang sangat penting, bukan lagi menjadi urusan pribadi semata tetapi juga menyangkut urusan keluarga, suku, masyarakat dan kasta. Maka dari itu dalam pelaksanaanya tidak terlepas dari upacara-upacar adat, dengan tujuan untuk keselamatan mempelai dalam mengarungi rumah tangganya sampai akhir hayatnya. Segala bentuk upacara ini merupakan upacara peralihan (rites de passage), setelah melawati upacara-upacara tersebut menjadi hidup bersama dalam suatu ikatan keluarga (somah) sebagai sepasang suami-istri. Yang semula masih satu atap dengan orang tua masing-masing kemudian mereka berdua menjadi suatu keluarga baru yang berdiri sendiri.








A. Tujuan Perkawinan
Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu:
1.      Berlangsung seumur hidup
2.      Cerai diperlukan syarat syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir dan
3.      Suami istri membantu untuk mengembangkan diri.
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok , yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah .Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan , sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.

B.      Syarat-syarat Perkawinan
Di dalam hukum adat tidak diatur secara rinci tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, bahkan syarat perkawinan pada masyarakat adat tergantung bentuk perkawinan yang mereka laksanakan. Tetapi secara umum syarat sahnya perkawinan diantaranya sebagai berikut :
·         Adanya persetujuan sukarela dari kedua belah fihak calon suami istri, kecuali jika mereka itu belum dewasa. (hukum adat dahulu tidak mengenal batasan usia dalam perkawinan. Istilahnya adalah kawin gantung yaitu adanya perkawinan anak-anak dimana hidup berkumpul sebagai suami istri dan berumah tangga sendiri ditangguhkan sampai saat usia yang pantas)
·         Persetujuan keluarga yaitu kedua orang tua belah fihak merupakan syarat yang sudah pada tempatnya, terutama bagi calon mempelai yang belum dewasa. (karena masalah perkawina merupakan keluarga/suku/clan yang bersangkutan
·         Tidak ada larangan/halangan perkawinan, yaitu :
o     Antar  keluarganya
o    Antara anak angkat dengan orang tua angkatnya (di luar jawa)
o   Sistem exogami pada suku bangsa yang menggunakan sistem endogami. Dan sebaliknya
o   Poligami pada beberapa daerah tertentu

C.   RUANG-LINGKUP PERKAWINAN

a.      Sifat-sifat Perkawinan
Keanekaragaman budaya Indonesia, menjadikan  tradisi  hukum adatnya pun  beragam termasuk dalam hukum perkawinan adat, indikasinya ada bervariasinya tata cara-prosesi perkawinan adat. Untuk mengetahui hukum perkawinan adat, harus dipahami pola susunan masyarakat, seperti  Genealogi Patrilineal (garis bapak),  Genealogi Matrilineal (garis ibu), Genealogi Parental (garis bapak + ibu),Genealogi Teritorial (wilayah) karena hal ini juga merupakan salah satu pengaruh dari sifat hukum adat dalam menentukan tempat tinggal setelah perkawinan.
Di sebagian daerah Indonesia berlaku adat kebiasaan bahwa upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga mempelai wanita meskipun terkadang juga dilakukan di tempat mempelai laki-laki. Mengenai tempat tinggal suami istri setelah upacara pernikahan, dalam hukum adat dikenal beberapa cara tergantung sifat perkawinannya. Adapun sifat-sifat perkawinan dalam hukum adat yaitu :
         Perkawinan Patrilokal,  merupakan perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai bertempat tinggal di kediaman pengantin laki-laki, baik itu sementara atau selamanya
         Perkawinan Matrilokal, merupakan kebalikan dari sistem patrilokal. Dimana dalam hal ini kedua mempelai tinggal di rumah sang wanitaa (antara lain terdapat di Miangkabau dan Lampung)
         Cara lain,   yaitu setelah upacara pernikahan di kediaman mempelai perempuan, kemudian pasangan suami istri tersebut tinggal sendiri terpisah dari keuarganya masing-masing.
b.      Pertunangan
Sebelum terjadi suatu perkawinan, pada umumnya di Indonesia ada istilah lamaran (nglamar), atau pertunangan. Yaitu suatu stadium (keadaan) yang besifat khusus yang di Indonesia yang merupakan pendahuluan dari akan dilangsungkannya suatu perkawinan. Pertunangan ini timbul setelah adanya persetujuan dari kedua belah fihak untuk mengadakan perkawainan. Dan persetujuan ini dicapai keduabelah fihak setelah setelah terlebih dahulu ada suatu lamaran, yaitu permintaan /pertimbangan yang dikemukakan oleh fihak laki-laki kepada fihak perempuan.
Lamaran ini umumnya diwakilkan,melalui utusan yang mewakili fihak laki-laki. Pertemuan ini membicarakan tentang kehendak mengadakan perkawainan, apabila telah terjadi kesepakatan dengan kata lain lamaran diterima maka tahapan selanjutnya adalah pertunangan. Pertunangan ini baru mengikat setelah adanya panjer atau tanda pengikat. Dalam adat jawa disebut dengan panjer, paningset, di Aceh dengan tanda kong narit, payancang (Jawa Barat), paweweh (Bali), bobo mibu (Pulau Nias). Dasar pemebrian ini merupakan suatu perbuatan religius, salah satu contonya di Bali di dareah Tnganan Pagringsingan yang disebut masawen artinya meletakkan suatu tanda larangan dengan memberikan sirih.

Dasar alasan pertunangan ini bervariasi antar daerah di Indonesia, akan tetapi pada umumya adalah:
o   Karena ingin menjamin perkawina yang dikehendaki itu dapat berlangsung segera.
o   Untuk membatasi pergaulan muda-mudi yang telah berpasangan karena dikhawatirkan berbuat yang tidak semestinya
o   Memberi kedua belah fihak untuk saling mengenal.

Mengenai tanda pengikat, tiap daerah berbeda-beda. Di beberapa dareha di Indonesia (Minagkabau, pada suku Dayak serta bebrapa Suku Toraja) tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh masing-masing fihak. Lazimnya untuk zaman sekarang berupa cincin serta diberika juga timbal-balik oleh kedua belah fihak. Dengan adanya pertukaran cincin berarti tahapan awal perkawinan telah dimulai. T. Jafizman mengatakan bahwa dalam hukuma adat suatu persetujuan untuk bertunangan tersebut telah mengikat apabila kedua belah fihak telah saling memepertukarkan tanda (zachtbarr teken) sebagai bukti telah terjadi peristiwa pertunangan yang merupakan peristiwa hokum.




Akibat pertunangan ini adalah kedua belah fihak terikat untuk melakukan perkawinan. Selain itu akan adanya hubungan yang lebih khusus antara bakal mertua dan bakal menantu dan antara bakal besan. Akan tetapi pertunangan yang sudah mengikat ini masih mungkin dibatalkan, tentunya dengan segala konsekwensinya (khususnya jika diputuskan secara sefihak). Kalau pembatalan dari fihak pria maka akan kehilangan peningset  yang telah diberikan, namun jika pembatalan dari fihak perempuan , maka fihak yang membatalkan ini harus membayar denda.

D.       BENTUK-BENTUK PERKAWINAN
1.      Perkawinan dengan peminangan , (aanzoek huwelijk)

Perkawinan dengan peminangan berarti perkawinan yang didahului dengan melamar (Bali = mapedik ), yaitu ajakan dari mempelai laki-laki yang disampaikan melalui perantaranya kepada fihak perempuan. Peminangan merupakan pola yang umum dilakukan oleh masyarakat/pola yang dapat ditemui pada tiap masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Bila lamarang diterima baik, kadang dilakukan pertunangan lebih dahulu, dimana pertunangan tersebut akan mengikat kedua belah pihak, pada saat diterimanya hadiah pertunangan yang merupakan alat pengikat/tanda yang kelihatan, yang kadang-kadang diberikan oleh fihak laki-laki kepada fihak perempuan/dari kedua belah pihak.
Sebagai tanda telah terjadi pertunangan, biasanya fihak laki-laki memberikan semacam hadiah (tanda pertunangan) yang disebut peningsut (Jawa), penyancang (Sunda), tanda konkrit/ janji sudah mengikat (Aceh), Pasikok/ pengikat (Sulawesi Selatan), Sasere/ Mengikat (Mentawai), Mas aye / emas Pengikat (Bei), Base Panglarang/ Tanda Pencegah (Bali), Bobo Mibu/ Pengikat Rambut (Nias)

2.      Perkawinan lari bersama (wegloophuwelijk atau vlucht huwelijk).
Pada umumnya terdapat pada masyarakat patrilineal.Perkawinan ini dilakukan dengan cara calon suami melarikan diri bersama-sama atas kehendak mereka berdua. Dengan maksud, untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara peminangan atau untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari fihak orang tua dan sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak perempuan.
Adanya kawin lari bersama ini bukan karena tidak adanya persetujuan dri orang tua kedua belah fihak tetapi merupakan cara adat untuk menghindarkan mas kawin/ uang jujur yang terlalu tinggi. Akibat lari bersama ini mungkin lalu diadakan perkawinan setelah ada kesepakatan diantara orang tua / keluarga mereka, atau dapat pula terjadi tanpa izin orang tua tetapi mendapatkan pengesahan kepala adat/pengesahan raja.

3.      Perkawinan Bawa Lari, (schaak huwelijk)
Yaitu perkawinan dengan cara membawa lari perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain dengan paksaan. Pada masyarakat Bugis-Makassar, kawin bawa lari / silarian merupakan hal yang tidak direstui oleh masyarakat, hal itu biasanya dilakukan dengan berbagai alasan seperti belanja perkawinan yang ditentukan keluarga si gadis terlampau tinggi. Apabila terjadi perkawinan bawa lari, maka oleh pihak keluarga perempuan akan melakukan pengejaran oleh kaum Tomosiri dan kalau mereka berhasil menemukan keduanya dalam pelarian itu, kemungkinan laki-laki akan dibunuh.

4.      Perkawinan Jujur, (bruidschaat huwelijk)
Adalah perkawinan yang di dahului dengan penyerahan uang/ barang jujur dari fihak pria ke pihak wanita. Kawin jujur ini terjadi pada masyarakat patrilineal. Fungsi dari uang jujur ini adalah sebagai syarat magis untuk melepaskan calon istri dari keluarga nya untuk dimasukkan dalam keluarga calon suaminya. Uang jujur ini bisa pula difahami sebagai uang pembelian yang harus dibayar fihak mempelai laki-laki kepada fihak wanita.

5.      Perkawinan mengabdi/kawin jasa (dienst huwilijk)
Perkawinan mengabdi merupakan salah satu bentuk perkawinan jujur, tetapi pembayarannya tidak berbentuk uang atau barang yang berharga melainkan berupa tenaga kerja/ jasa/ pengabdian diri dari pengantin pria kepada orang tua pengantin wanita. Perkawinan semcam ini bisa dijumpai di daerah Batak (Mandinding), Lampung (ering Beli/ Ngisik), Bali (Nunggonin), Bengkulu (Sumondo), Sunda (Mengabdi), dan di Cirebon (Kawin Pacul)

6.      Perkawinan Ambil Anak, (inlijf huwalijk)
 Perkawinan berganti atau bertukar dapat terjadi kalau ada dua keluarga atau clan yang saling memberi pengantin, pria maupuin wanita, sehingga antara keduanya terjadi hubungan perkawinan atau berbesanan timbal balik (symetrisch connubium). Perkawinan ini terjadi tanpa adnaya uang jujur karena menantu laki-laki dipungut sebagai anak oleh mertuanya dengan maksud untuk melangsungkan garis keturunan mertuanya itu. Perkawinan berganti sering terjadi di Ambon di kalangan orang-orang Tolainang (Sulawesi Tenggara) dan di daerah Irian Jaya.

7.      Perkawinan Berganti/Bertukar  (ruil huwelijk)
Perkawinan ini dapat terjadi jika ada 2 keluarga/ klan yang akan berbesan, pria maupun wanita sehingga antara keduanya terjadi hubungan perkawinan atau berbesan timbalbalik (symetrisch connubim). Perkawinan semacam ini dilakukan di daeah Ambon di kalangan orang-orang Tolainang.

8.      Perkawinan Ipar, (liveraat)
Perkawinan ipar/mengganti/levieraat/substitution marriage, ialah perkawinan antara sorang janda yang menetap pada keluarga almarhum suaminya dengan adik laki-laki dari almarhum suaminya. Perkawinan semacam ini terdapat di daerah Batak Toba (Pareakhon), Palembang (Ganti Tikar), Bengkulu (Kawin Anggau), Lampung (Nyemalang) dan Jawa Tengah (Tunggak Semi). Pada awalnya merupakan perkawinan yang khas terdapat pada masyarakat hukum adat patrilineal sebagai akibat adanya perkawinan jujur.

9.      Perkawinan Lanjutan / Sororot (contuniation marriage).
Merupakan kebalikan dari kawin ipar. Disini duda/balu yang ditinggal mati istrinya kawin dengan saudara (adik) perempuan dari almarhum istrinya. Istri kedua ini melanjutkan tempat kedudukan istri pertama yang meninggal itu.



10.  Perkawinan Baku Piata
Masyarakat sangihe menyebutnya dengan Nepa piara, yakni dengan mendatangi rumah seorang perempuan dan tinggal bersama/hidup bersama. Dengan hidup bersama ini mereka oleh masyarakat sudah diangab sebagai pasangan suami istri, sehingga tidak diperlukan upacara nikah / upacara perkawinan. Sekarang pada umumnya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.     
2.2 Syarat Sah Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
  3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
  4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
  5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
  6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.



Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut:
  1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.
  2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
  3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
  1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
  2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.
  3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.
  4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
  5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang
  6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
  • Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
  • Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
1.      Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
2.      hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
  • Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

2.3. Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kerana letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.Pernikahan memang satu upacara sakral yang diharapkan sekali seumur hidup. Bentuk pernikahan banyak sekali bentuknya dari yang paling simple, dan yang ribet karena menggunakan upacara adat. Seperti pernikahan adat Sunda ini, kekayaan budaya tatar Sunda bisa dilihat juga lewat upacara pernikahan adatnya yang diwarnai dengan humor tapi tidak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat.
sejak kepanitiaan sudah dibentuk, ada beberapa pase tugas yang harus  mereka persiapakan agar upacara adat demi upacara adatyang dilangsukanberjalan dengan sukses,Dalam perkawinan adat sunda, ada lima cara pokok yang umumnya yang masih tetap dilestariakan hingga saat ini, walaupun di sana sini ada ada proses midifikasi. Lima acara itu adalah lamaran, siraman seserah, ngenyeuk serueh, akad nikah/peberangkatan kemesjid, dan saweran

NGEBAKAN / SIRAMAN

Secara kasat mata siraman ini artinya membadikan. Tapi, dibalik itu ada beberapa makna yang terkandung didalamnya. Secara filosofis, siraman itu dimaksud sebagai upaya penyucian diri lahir batin sebelum memasuki mahligai perkawinan
            Upacara siraman ini juga merupakan kesempatan bagi sianak untuk memohon doa restu kepada orang tua maupun parasepuh. Tujuanya, agar dalam mengurangi hidup baru nanti ia mendapatkan restu dan limpahnya  kebaikan dari mereka. Itu sebabnya biasanya  yang bertugas memandikan si calon pengantin, selain kedua orangtuanya, juga para angota keluarga yang sudah tua dan orang orang sekaligus dikenal sebagai orang yang alim soleh.
Karena merupakan symbol penyucian diri, Maka sebelum upacara siraman ini dilangsungkan biasanya diselengarakan pengajian. Sebelum pengajian dimulai, di tempat ini sudah disiapkan air setaman, yaitu air dari tujuh mata air/sumur yang ditaburi bunga tujuh rupa. Maksudnya, sebelumdimanfaatkan untuk memandikan kedua calon mempelai, air setaman itu lebih dulu didoakan ustad/ustadzahbeserta orang orang yang hadir di tempat itu




Alat-alat yang perlu dipersiapkan:

-           jambangan berisi tujuh air tujuh mata air
-          Kembang tujuh rupa
-          Gayung lengkap dengan hiasan bunga
-          Kain batik
-          Kendi dari tanah.
-          Untaian melati untuk penutup bahu dan dada
-          Handuk kecil
-          Tempat duduk
-          Gubuk yang sudah dihias(kalo acara di selenggarakan di luar)
-          Minyak wangi

Tata cara pelaksanaan

Dirumah keluarga CPW
- MC (master of ceremony) atau pengarah acara membuka acara dan mengunmumkan bahwa   rainkayan upacara siraman akan segera dimulai
- sebelum uoacara siraman dimulai lebih dahulu diselengarakan pengajian/syukuran. Hadirin dalam acara ini CPW (Mengenakan kebaya biasa), kedua orang tua,kerabat dekat, dan para tamu.
- selesai pengajian , air kembang setamanyang sudah didoakan do forum pengajian itu dibagi dua dan salah satunya kemudian dikirimkan kerumah/ketempat pemondokan CPP . seorang utusan dari keluarga CPP dating mengambil air kembang setaman tersebut cara simbolis menggendong putrinya keluar kamarmenuju pelaminan. Tentu saja tidak menggendong sunguh sungguhsang ibu berdiri di samping kiri CPW dengan tangan kanan merangkul pinggang CPW . Tangan kirinya memegang dua ujung kaki batik yang sudah dilingkarkan di pinggang maupun CPW , sepertiorang yang setengah menggendong.
-  sebelum melakukan upacara ngecagkeun aisan (melepaskan gondongan), lewat tembang sunda yang dilantunkan oleh seorang juru mamos , kedua orang tua memberikan nasehat kepada putrinya
- kedua orang CPW  kemudian duduk di atas kursi yang sudah diasiapkan dan CPW dipangku diatas paha ibu dan ayanhnya
- Ayah CPW kemudian membuka kain gendongan sambil membaca ”Bismillaahirahmaanirrahim.”
- selanjutnya CPW duduk bersimpuh dibawah dan posisinya menghadap orangtuanya yang duduk kembali diatas kursi tadi.CPW kemudian memohon maaf dan restu kepadaibu dan ayahnya
- Orang tua CPW menjawab pemohon doarestu bagi putrinya
- CPW kemudian membasuh kaki ibunya denganairkembang setaman didalam bokor dan setelah itu baru mengelap serta mengeringkanya dengan handuk. Setelah itu CPW mencium kaki ibunya dan setelah itu ayahnya
- Upacara NGARAS (mencuci kaki orangtua) umumnya berlangsung bagi pasangan pengantin sukapuara


Ngaras ( Mencuci Kaki orangtua)

 Upacar ini hanay dilakukan dalam perkawinan adat sunda gaya sukapura. Ngaras adalah upacara yang dilakukan sebelum CP[W/CPP melaksanakan upacara siraman.
Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa sayang dan hormat seorang anak kepada kedua orang tua
            Seperti halnya upacar siraman , yang diharapkan hadir dalamupacar ini adalah kedua orang tua calon mempelai saudara saudara sekandung, kakek nenek keluarga besar kedua orang tua kedua clon mempelai serta tamu tamu undangan khusus. Sesuia jumlah undangan yang ada, posisiNgaras ini sebaiknya disesuaikan dengan keadaan rumah. Kedua orang tua bisa duduk dikursi, sementara di bawahnya sudahdisiapkan air kembang di dalam bokor atau panic . CPW/CPP duduk dihadapan kedua orangtua. Dengan bimbingan pimpinan Ngaras CPW /CPP pertama kali membasuhi ibunya baru kemudian  ayahandanya.


Pengkajian

Idealnya, rangkaian acara yang dimulai dengan pengajian ini dimulai usai shalat dhuhur pukul 12.30. disinilah batin sicalon pengantin di gembleng agar mampu menjalankan bahtera keluarga dengan baik sesuai yang digariskan agama. Acara ini umumnya hanya di ikuti oleh anggota keluarga, kerabat dekat, maupun para tetangga di sekeliling keluarga rumah CPW. Setelah acara pengajian yang memakan waktu lebih kurang satujam itu selesai, CPW mulai masuk kamar pengantin untuk mempersiapkan diri melakukan upacara ngacegkeun aisan (gendongan terakhir).
Petugasyang bertanggung jawab kemudian memeberikan air kembang yang baru saja dodoakan bersama sama dan selanjutnya air setaman itu dibagi dua. Sebagian air setaman yang sudah ditaburi doa itu untuk upacara siraman di rumah CPW, sementara sebagian yang lain di bawah kerumah CPP untuk acara siraman bagi CPP.




Ngecangkeun aisan / Melepas gendongan

Upacara ngecankeun aisan yang artinya melepaskan gendongan. Secara simbolik inilah gendongan terakhir seorang ibu. Maknanya selama ini anak itu selalu dalam “Gendongan” atau dalam tanggung jawab orang tua, mulai saat itu orang tua akan mulai melepaskan tanggung jawabnya sebagai orang tua kepada putrinya yang akan segera memasuki pintu gerbang rumah tangga. Taklama lagi sang putrid akan dinikahkan dan dipasrahkan kepada suaminya, yang secara otomatis akan mengambil alih tanggung jawab kasih sayang lahir batin dari orangtuanya
Alat-alat Ynag Perlu Dipersiapkan:
-  bokor isi air kembang setaman
-  dua kursi
-  tujuh lilin lengkap dengan tempatnya
-  payung hias
-  kain batik
-  handuk kecil
Ngeningan (Mengerik)
Usai siraman dengan diantar kedua orangtuanya ke kamara pengantin. Setelah itu CPW menuju kamar mandi untuk mandi sendiri untuk membersihkan bunga-bunga bekas upacara siraman atau kotoran lainyang menempel di tubuhnya. Sebelum dirias, CPW  melakukan upacara ngeningan (mengerik rambut halus) yang ada didepan maupun belakang kepalanya. Upacara ini dilakaukan biasanay oleh juru rias.
Alat-alat yang perlu disiapkan:
- Alat-alat untuki mencukur, yaitu sisir, gunting, pisau cukur, pinset, dan air sabun
-alat-alat sesaji yaitu koin putih/mori , air bunga sataman (diambil dari bunga siraman),pedupaan, pelita (lilin/lampu minyak tanah)

SESERAHAN / SEREN SUMEREN

Usai menjalani upacara siraman biasanya calon pengantin melakukan mandi sungguhan sendiri dan kemudian mengeringkan rambut. Setelah itu barulah ia dirias perias pengantin sebelum wajahnya dirias, Rambut CPW harus dikerik dibagian depan dan samping. Terakhir ia mengunakan busana untuk nantinya mengikutu upacara seserahan  yang dilanjutkan dengan uoacar ngeyeuk sereuh pada malam harinya, atau langsung pada upacara seserahan berlangsung
            Upacara seserahan ini adalah kelanjutan lamaran yang telah berlangsung beberapa minggu/bulan sebelum seserahan seserahan itu berlangsung . Pada saat itu pihak keluarga CPP






 Secara simbolik menyerahkan CPP dengan peralalatan/perlengkapan mawakeun yang nantinya akan dipake oleh CPP yang akan di pake saat perkawinan mereka berlangsung .
Seserahan/seren sumeren adalahupacara pernikahan yang dilakukan sebagai pemantapan dan tidak lanjut dan tahapan lamaran yang sebelumnya sudah dilakukan oleh keluarga pihak CPP kerumah keluarga CPW . Dalam acara lamaran ini pihak keluarga CPP menyerahkan calon mempelai pria untuk nantinya bisa di nikahkan dengan CPW

Tapi, kedatangan keluarga CPP kerumah keluarga CPW ini tentu saja tidak dengan tangan kosong,begiru juga dengan keluarga CPW tidak akanmemberikan tamu tamunya pulang tanpa buah tangan walaupun jenis dan jumlahnya tidak sebanyak bingkisan yang di bawa oleh keluarga CPP. Di sinilah kekhasan rangkayan tata cara upacara perkawinan adatsunda.
Dalam acara seserahan ini, keluarga CPP menyerahkan bebrapa bingkisan yang besar kecil maupun banyak sedikitnya tergantung pada kemauan/kesepakatan masing-masing keluarga. Tapi, ada aturan aturan baku yang selama ini selau menjadi acuan para calon pengantin adat sunda

Uang dan Barang Yang Perlu disiapkan:

-  Uang yang jumlah 10 kali lipat dari jumalah unag yang di bawa saat berlangsungnya acara lamaran
- Seperangkat/lebih pakaian wanita, termasuk pakaian dalamnya
- Saperangkat/lebih perhiasan wanita seperti kalung, gelang, cicin, anting, dan sebagainya
- Satu set/lebih perabotan rumah tangga dan dapur , seperti tempat tidur, meja, kursi, kulkas, kompor, panic, dan sebagainya
Parawetan untuk mengisi dongdomgan antara lain:

-Buah-buahan seperti 1 cau saturuy (pisang raja bulu dengantandanya)angur, apel, slak, sawo, nanas, bangkuang Dsb
-Hahampangan (kue-kue kecil)dan kue basah(Bubur berem/merah – bubur   bodas/putih puncak manic & kulub endog (nasi tumpeng kecil + telor ayam matang), dsb.
-Bahan lauk : daging sapi, ayam hidup, ikan mas hidup, dsb.
-Bumbu dapur komplit (gula merah yang masih pake daun aren, garam, bawang merah & putih, dsb).
- Kelapa hijau (kelapa santan)
- Beubeutian (singkong lengkap dengan pohonya)
- Pare ranggeuyan (padi yang lengkap dengan gagangnaya)
- Lamarguh (sirih pinang lengkap, dengan tangkainya)
- Jambe ranggeuyan (pinang dengan tangkainya )
- Jambe (pinang tua)
- Mayang jambe (bunga pinang)
- Wlauh gede (llabu kuning besar)
- Kaci (kain putih) dua sentimeter
- Alat-alat jahit seperti : jarum benang-benang kanjeh, dsb.
- Alat sawer, kendi kecil, dan cobek lengkap dengan cowet (ulekan) kecil.
- Uang receh
- Beras kunyit seiytar satu genggam
- Serbet.
- Elekan, harupat (lidi enau)kecil dan papan kecil ukuran 10 x 15 sentimeter
- Lumpang dan alu kecil
- Bedog (golok), pisau, dan talenan
- Lilin dan koerk api
- Telur ayam kampong
- Rujakeun (alat sesaji)

Ngeyeuk Sereh

Ngeyeuk sereh berasal dari kata paheuyeuk heyeuk jeng beubeureuh (bekerjasama dengan pacar). Maksudnya biar digoyang badai kehidupan seperti apapun kedua calon kedua mempelai ini tetap lengket terus sampai tua. Ada yang mengatakan ngeyeuk itu berasal dari kata ngaheuyeuk yang artinya mengurus atau menyelenggarakan. Misanay ngaheyeuk Negara artinya mengurus Negara.
Ngaheyeuk pare artinya menginjak nginjak padi agar padinya lepas sehingga bisa dimasukan ke penggilingan padi. Ngaheyeuk juaga bisa berarti bergandeng-gandeng. Maksudnya, jalanin kerjasama yang baik agar pekerjaan itu bisa selesai dengan bai. Jadi ngeyeuk sereh itu adalah menyusun sirih agar bisa tersusun dengan rapi.
Alat alat yang harus di persiapkan
- Hasil tumbuh-tumbuhan
- Sereuh ranggeuyan (sirih seger lengkap dengan tangkainya)
- Mayang jambe (bunga mayang yang masihtertutup)
- Waluh gede (labu besar)
- Pare gendengan (seikat padi)
- Kembang setaman 9bunga tujuh rupa)
- Daun hanjuang (daun untuk pembungkus)
Pakaian

- Panggango isteri pameget sapangedeg (seperangkat pakaian wanita dan pria)
- Sinjang batik (kain batik) berjumlah ganjil
- Sinjang poleng (sarung pelekat).

Parawanten (sesaji) yang terdiri atas:

a.       Lamereun kumpilit (sirih pinang lengkap)
b.      Barang-barang dapur seperti :
-       Beas sakulak (Samangkuk beras)
-       Bumubu dapur sambara badag (bumbu bumbu sepert salam, lengkuas, serai, dsb)
-       Cowet cobek dari tanah
-       Boboko bakul lengkap dengan cukul (centong nasi)
-       Hiji nyiru (tampan besar)
-       Buah (satu sisir pisang emas dan pisang raja kelapa muda, kelapa tua) dan buah tujuh rupa (manga, jeruk, jambu, papaya, dudku, rambutan, dan apel)
-       Hahampangan (kue kue kecilseperti rangginang, kelentongan dsb)
-       Rurujakeun (untuk sesaji beruoa gula putih, gula merah, kelapa, asem, peyeum, roti, pisang emas dan pisang kulutuk)
-       Cocngcot puncak manik (nasi tumpeng bagian atas dan diatasnya dikasih telur matang utuh)
-       Bubur bereum bodas (bubur merah bu bur putih)
-       Setangkai dau pisang
-       Kemenyan putih minyak kenanga,minyak wangi sebungkus bunga rampai benang hitam putih lengkap dengan jarumnya,cermin,dan kain putih satu meter
-       Gula dankopi

PUNCAK SEGALA UPACARA

AKAD NIKAH
Inilah salah satu saat saat terpenting dalam perjalanan hidup manusia karena sejak saat itulah kedua sejoli itu dianggap sebagai manusia utuh yang memeiliki hak hak penuhsebagai warga masyarakat. Ditinjau dari segi agama, upacara ijab Kabul/pemberekatan mesjid/peresmian adalah peristiwa yang mau tidak mau wajib dilakukan bagi mereka yang ingin memasuku bahtera rumah tangga. Agama apapun tidak ada yang mengijinkan umatnya untuk bersuami/istri ala kumpul kebo, tanggung jawab peristiwa bersejarah ini tidak hanya kepada sesame manusia, namun yang paling penting adalah kepada sang maha pencipta.
Sebagai upacara yang sangat religious, acara ini seharusnya ditata sedemikian khidmat sehingga suasana batin benar benar terasa khusuk dan terpelihara. Selain urutan acara dan waktunya harus dirancang dengan matang, persiapan tempat dan perlengkapanya pun harus jelas. Misalnya, bagaimana urutan acaranya, pukul berapa dimulai, acara ini akan dilangsungkan dimana (di mesjid, gereja, pura, atau dirumah) dan perlengkapan apa saja yang harus dipersiapkan. Kalau rumah calon mempelai pria jauh, pihak keluarga CPW sebaiknya menyediakan tempat mondok dan beristirahat bagi clon keluarga pria dan keluarganya.

YANG BOLEH MENJADI WALI

            Dalam agama islam khususnya dalam uoacara akad nikah/ijab Kabul, orang yang memenuhi syaratmenjadi wali nikah adalah
-       Calon wali berakal sehat
-       Merdeka dirinya, bukan orang bayaran (abid)
-       Seorang yang muslim dan benar benar dewasa
-       Lelaki bukan perempuan
-       Ia seorang yang adil,tidak banya bohong, tidak melakukan dosa besar yang disengaja seperti zina, membunuh, atau minum minuman yang memabukan.






SABADA  NIKAH
            Serangkaian upacara yang dilakukan setelah ini adalah acara  Sabada (sesudah) Akad nikah yang banyak dilakukan masyarakat pasundan guna ikut memeriahkan acara peserta perkawinan. Meski acara ini dilakukan usai pasangan sejoli itu resmi menjadi suami istri, namunrangkaian ini adlah puncak dari rangkaian panjang uoacara perkawinan adat tradisional Sunda.
            Seperti juga pesta pesta perkawinan adat yang lain, dulu perkawinan adat sunda bisa berlangsung selama setengah atau bahkan sebulan, Sebagai “Undangan” atau “Pengumuman” kepada masyarakat di sekelilingnya bahwa dirumah fulan akan diselenggarakan pesta perkawinan, selama berhari hari pararemaja putra putrimelakukan Ngagondang, yaitu memukulkan alat penumbuk padi (alu) kelesung sambil bersama sama melantunkan lagu lagu tradisional  sunda yang indah.


NYAWER

Kenapa sepsang mempelai usai menikah harys menjalani saweran, konon ada sejarahnya sendiri. Sejak agama islam masuk di tanah parahiangan, pasangan muda mudi setiap menikah selalu didalam mesjid. Agar kesucian mesjid itu tetapterperihara hingga saat kedua mempelai itu pulang kerumah, maka kedua mepelai harus disawer terlebih dahulu dihalam teras dekat rumahnya.
Asal kata nyawer adalah awer, Ibarat seember be da cair, benda ini bisa di –uwar awer (tebar tebar)dengan mudah. Jadi, secara fisik arti nyawer itu adalah menebar-nebar. Tapi, dibalik itu nyawer memiliki makna yang lebih dalam dan ritual, yaiutu menebar nasihat. Maksudnya, “Sepasang raja dan ratu sehari” itu sebentar lagi akan mengarungi bahtera kehidupan yang penuh misteri. Ibarat hutan, hutan itu adalah hutan belantara yang pelum terjamah oleh tangan dan kaki manusia sehingga terkesan misteruis dan mengerikan. Di satu sisi rumah tangga itu bisa menjadi sebuah istana kerajaan yang indah bagaikah di surga, tapi di sisi lain bisa menjadi malapetaka hebat seperti dalam neraka.

Meleum Hareupat

Lelaki selau diidentikkan dengan otot, kekuatan, kejantanan, dan kegalakan. Bisa di bayangngkan betapa gawatnya isi dunia ini kalau isi dunia lelaki. Bisa jadi isi dunia hanyalah perang dan perang karena masing masing lelaki ingij menunjukan kebolehnya. Dalam upacara kawinan adat sunda, symbol ini divisualkan dalam acara meleum harupat. Harupat adalah lambing sipat lelakiyang gampang patah, keras, dan hitam. Benda ini adalah racun, lebih lebih apabila kalau menusuk ke telapak kak. Sikap pemarah lelaki yangdigambarkan nyala lidi dari lidi ijuk (meleum harupat) pada akhirnya harus bertekuk tekuk dengan sipat lembut wanita. Api amarah lelaki itu menjadi padam ketika disiram dengan air kelembutan seoranf wanita.
           
Alat alat yang perlu disiapkan :
-       Harupat (lidi injuk pinang)
-       Korek api dan lilin/pelita

Nincak Endog
Banyak susku di Indonesia memanfaatkan telur ayam untuk upacara dalam perkawinan mereka. Salah satunya adalah upacara perkawinan Adat Sunda. Ini tentu saja bisa dimaklumi, kiarena telur adalah lambing segala awal kehidupan. Dari telurlah nantinya muncul daging, darah, dan nyawa. Lebih jauh telur adalah simbol kesuburan atau yang lebih khususnya lagi lambing keperawanan.

Sebagai simbol awal kehidupan, maka kedua orang tuanya harus senantiasa berusaha menjaganya. Telur itu harus dijaga janagn sampai pecah atau berantakan sebelum saatnya menetes. Bagi seorang gadis, buah keperawanan haruslah selalu dijaga. Saat itu berhasil mendapatkan pasangan yang sesuia dengan kalbunya, barun hal yang palin berharga dari tubuhnya itu dipasrahkannya secara utuh. Pada saat upacara Nincak Endog (menginjak telur) yang dilakukan oleh pengantin pria, pada saat itulah keperawanan pengantin putrid sudah terpecahkan.
           
Alat alat yang perlu dipersiapkan:
-       Sebutir telur ayam dalam pelastik
-       Cobek dan elekan
-       Tunjangan (papan ukuran sekitar 3 x 20 x 2 cm)
-       Kendi berisi air
-       Hnduk kecil

Buka Pintu
            Bagi siapapun yang ingin bertemu ke rumah orang, mereka harus mengetuk pintu atau member salam. Filosofi inilah dan kemudian diterapkan dalamupacara perkawinan adat Banjarmasin dan kini juga melengkapi perkawinan adat sunda. Konon, upacara buka pintu ini bukan upacara asli perkawinan adat sunda. Upacara ini diperkenalkan pertama kali pada masyarakat pasusndan leh pangeran hidayatullah, ketika ia di buang penjajah ke Cianjur.
            Upacar buka pintu ini secara turun temurun menjadi bagian upacara perkawinan Adat sunda. Sebelum memasuki rumah keluarga pengantin wanita , sebelumnya pengantin pria harus mengetuk pinti tiga kali. Dari dalam rumah penga nti wanita tidak langsung membukakan pintu. Ia perlu memastikan apakah pria yang mengetuk itu benar benar buah hatinya yang baru saja menikahinya.


Huap Lingkung
Tak hanya telur ayam yang ikut menyertai upacara perkawinan Adat Sunda, namaun juga ayamnya. Maklum, hamper semua orang menyukai dagingnya. Dalam puncak acara perkawinanadat sunda. Ayam ikut menyemarakan dalam upacarhuap lingkup (saling suap menyuapi). Selain sebagai simbol agar keduanya berbagi rezeki secara adil, acara ini dulunya juga dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan kedua mempelai. Maklum, pengantin pengantin jaman dulu umumnya belum saling mengenal, apalagi saling bersentuhan.


Dulu acara acara seperti ini selalu diselenggarakan di bawah, duduk diatas tikar atau karpet. Sekarang diambil praktisnya saja. Karena umumnya acarpesta diselenggarakan di gedung pertemuan atau di mesjid. Maka uoacara huap lingkung pun diselenggarakan di kursi pelaminan dan diapit orang tua masing masing.
Tahap berikutnya adalah suap suapan di antara kedua mempelai masing masing sebanyak tiga suapan. Posisi dudukpengantinpria di sbelah kiri dan penganti putrid di sebelah kanan. Tanagn pengantin pria merangkul pengantin putri dengan jari tanganya mengarah kemulut pengantin putri, sementara tangan kirinya memegang paha kanan pengantin putrid. Sebaliknya, tangan kiri pengantin putri memegang bahu kiri pengantin pria, sementara tangan kanan mengarah kemulut pasangannya. Setelah posisinya tepat batulah dimulai upacara Huap Lingkup.

            Alat alat yang perlu disiapkan
-       Dua piring nasi punar (nasi ketan kuning)
-       Dua cangkir air the
-       Satu ekor ayam matang bakakak
-       Dua mangkok air keciluntuk mencuci tangan
-       Dua lap tanga/tissue

Ngaleupaskeun Japati

            Dengan diantara kedua orang tua kedua mempelai, juru rias, keluarga, kerabat dekat, Raja dan ratu sehari itu kemudian berjalan keluar ruangan. Di tempat ini telah disampaikan sepasang merpati, sebagai “alat” utama untuk upacara ngaleupaskeun japati (melepaskan merpati). Bagi masyarakat sunda merpati adalah sosok binatang yang memiliki kebiasaan kebiasaan yang fositif. Burung merpati umumnya selalu hidup rukun dan berantem atau tak pernah saling cakar mencakiar
            Sebagai binatang peliharaan, merpati sangat setia pada majikanya. Binatang ini suka dipercaya kalau suruh mengirimkan surat. Pasti akan sampai pada alamat yang dituju. Binatang ini juga bukan binatang jorok, termasuk makanan yang dimakanya bulu maupun badanya yang halus tampak selalu bersih. Kalauterbang jarang sekali sendirian, ini pertanda bahwa binatang ini memegang kekerabatan yang tinggi. Merpati kalau bertelur selalu dua, ini berarti mengajarkan pada manusia untuk ikut keluarga  berencana.
            Selama ini merpati memang dikenal sebagai lambing pemberi kabar dan pembawa perdamaian. Kabar perdamaian dan kekeluargaan itu pula yang ingin disampaikan dua keluarga besar dua mempelai bahwa dua sejoli itu kini telah menikah dan sepakat untuk memasuki mahligai ruamah tangga. Den gan dilepaskanya merpati, hal ini sekaligus menggambarkan kepada masyarakat luas bahwa kedua sejoli itu telah resmi terikat dalam pernikahan yang sah. Bersama iringandoa yang khusuk, ibu penganti wanita melepaskan merpati betina, sementara ibu penganti pria melepaskan merpati jantan.






Doa Dan Ucapan Selamat

            Dengan berakhirnya upacar luap lingkup itu, maka paripurnalah seluruh rangkaian upacara adat yang diselenggarakan oleh keluarga pengantin putri. Upacara ini bisa diakhiri dengan doa yang dipimpin seorang ulama. Sebelum kemudian memasuki acara pesta yang akan dihadiri oleh undangan, kedua mempelai bersama kedua orang tuamereka menerima ucapan selamat dari keluarga dan kerabat dekat mereka. Posisi berdiri mereka dalah dari kana adalah ayah dan ibu mempelai pria, mempelai wanita, mempelai pria, dan baru ibu dan ayah mempelai wanita.































BAB III
PENUTUP
  • Kesimpulan
 Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dengan segala akibatnya, percerian dan harta perkawinan. Hukum perkawinan adat adalah bagian dari hukum tidak tertulis yang tumbuh & berkembang dalam masyarakat  yang mengatur tentang  perkawinan. Dalam Hukum Adat perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan maksud untuk melanjutkan generasi
Dalam hukum adat dikenal beberapa cara tergantung sifat perkawinannya. Adapun sifat-sifat perkawinan dalam hukum adat yaitu :
         Perkawinan Patrilokal,  merupakan perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai bertempat tinggal di kediaman pengantin laki-laki, baik itu sementara atau selamanya
         Perkawinan Matrilokal, merupakan kebalikan dari sistem patrilokal. Dimana dalam hal ini kedua mempelai tinggal di rumah sang wanitaa (antara lain terdapat di Miangkabau dan Lampung)
         Cara lain,   yaitu setelah upacara pernikahan di kediaman mempelai perempuan, kemudian pasangan suami istri tersebut tinggal sendiri terpisah dari keuarganya masing-masing.
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kerana letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.Pernikahan memang satu upacara sakral yang diharapkan sekali seumur hidup. Bentuk pernikahan banyak sekali bentuknya dari yang paling simple, dan yang ribet karena menggunakan upacara adat. Seperti pernikahan adat Sunda ini, kekayaan budaya tatar Sunda bisa dilihat juga lewat upacara pernikahan adatnya yang diwarnai dengan humor tapi tidak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat.
Di dalam hukum adat tidak diatur secara rinci tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, bahkan syarat perkawinan pada masyarakat adat tergantung bentuk perkawinan yang mereka laksanakan. Tetapi secara umum syarat sahnya perkawinan diantaranya sebagai berikut :
·         Adanya persetujuan sukarela dari kedua belah fihak calon suami istri, kecuali jika mereka itu belum dewasa. (hukum adat dahulu tidak mengenal batasan usia dalam perkawinan. Istilahnya adalah kawin gantung yaitu adanya perkawinan anak-anak dimana hidup berkumpul sebagai suami istri dan berumah tangga sendiri ditangguhkan sampai saat usia yang pantas)
·         Persetujuan keluarga yaitu kedua orang tua belah fihak merupakan syarat yang sudah pada tempatnya, terutama bagi calon mempelai yang belum dewasa. (karena masalah perkawina merupakan keluarga/suku/clan yang bersangkutan
·         Tidak ada larangan/halangan perkawinan, yaitu :
o     Antar  keluarganya
o    Antara anak angkat dengan orang tua angkatnya (di luar jawa)
o   Sistem exogami pada suku bangsa yang menggunakan sistem endogami. Dan sebaliknya
o   Poligami pada beberapa daerah tertentu










DAFTAR PUSTAKA

Prof. SUBEKTI,SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa:Jakarta, 2003.
H.Riduan Syahrani , S.H., Edisi Revisi Seluk Beluk dan Asas-Asa Hukum Perdata, Pt Alumni:Bandung, 2006
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata,
 Jilid II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

SALIM HS, S.H., MS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika:Jakarta,2001

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DELIK ADUAN DALAM TINDAK PIDANA

DELIK ADUAN DALAM TINDAK PIDANA MAKALAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana di Bawah Bimbingan Dosen Bpk. M.Arief B,SH.MH Oleh : AYU SARTIKA DEWI (143112330040104) PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NASIONAL ,PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN KATA PENGANTAR      Assalamu’alaikum Wr. Wb.             Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq serta inayahnya.  Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang merupakan menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan Hukum Pidana.  Adapun tema yang kami angkat adalah berkaitan dengan Delik Aduan dalam Tindak Pidana, penulis menyadari sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam isinya maupun dalam penyajianya, berkat dorongan dan bimbingan dari semua pihak maka penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Semoga kary...

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

MAKALAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam di Bawah Bimbingan Dosen Bpk. Dahlan Suherlan , SH, M.H. Oleh : KELOMPOK 6 AYU SARTIKA DEWI (143112330040104) DWI FRANDY MANALU PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NASIONAL ,PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN 201 5 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “ SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM ”. Makalah ini berisikan tentang SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM atau yang lebih khususnya membahas pergerakan hukum Islam khususnya dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum tersebut. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua, pada khususnya mahasiswa/mahasiswi UNIVERSITAS NASIONAL tentang hukum islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempu...